Sunday 18 April 2010

Jihad Versus Terorisme
Oleh: Zahrul Bawady M. Daud

Sejak beberapa waktu terakhir, masalah terorisme merebak menjadi perbincangan hangat, baik tingkat lokal maupun nasional. Kejadian penyusupan teroris di Aceh yang menjadi wacana menarik bagi setiap media massa untuk menjadikan berita ini sebagai laporan utama. Penyisiran yang mulai dilakukan sejak 22 Februari itu seolah membuat mata masyarakat Aceh terbuka, bahwa di sekitar mereka ada kelompok yang ingin mengacaukan kedamaian Aceh.

Sebagaimana diberitakan, pegunungan Jalin yang diduga sebagai basecamp teroris Aceh telah diidentifikasi sejak awal. Hasilnya empat orang tersangka makar teroris ditangkap, satu masyarakat sipil tewas dan satu lainnya terkena luka tembakan di wilayah pegunungan Jantho tersebut(SI/24/02/2010).
Selanjutnya, pihak kepolisian yang dibantu densus 88 anti teror kerap melakukan razia. Penyisiran dilakukan ke berbagai daerah yang dicurigai menjadi singgahan anggota teroris yang diduga sedang menggelar latihan di Aceh. Penjagaan di wilayah perbatasan diperketat. Kampung yang dianggap sebagai basis teroris disisir. Kerjasama dijalin antara TNI, Kepolisian dan densus 88 yang juga menggaet partisipasi masyarakat.

Insiden demi insiden pun terjadi. Di daerah Seulimum terjadi kontak tembak lebih 22 jam, sejak 3/3/2010, menewaskan satu masyarakat sipil dan belasan lainnya luka-luka. Peristiwa di Lamkabeue 5/3/2010 yang menewaskan dua orang dari kesatuan brimobda dan satu anggota densus 88. Setelah itu, 12/3/2010 polisi kembali menembak mati dua orang terduga teroris yang sedang menumpang minibus di daerah Leupung dan menangkap delapan lainnya ketika mereka terjebak sweeping kepolisian yang berjarak 21 KM arah Banda Aceh. (SI/13/3) Pada 14/3/2010 pengepungan menjalar ke bagian Lhokseumawe. Sejumlah barang bukti ditemukan dalam penggerebekan yang terjadi di kemukiman kandang. Di Aceh Barat, pihak kepolisian juga menangkap beberapa orang dicurigai terkait jaringan teroris yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia(SI/15/3/2010).

Praktis, operasi ini sedikit menganggu kenyamanan masyarakat, konon lagi masyarakat desa yang notabane-nya sebagai petani terancam gagal panen, akibat suasana yang tidak kondusif. Hasilnya perekonomian masyarakat kembali dirugikan. Kedamaian Aceh belum terasa menyeluruh, apalagi jika dikaitkan dengan isu terorisme akhir-akhir ini.

Masyarakat Aceh yang memiliki nilai perjuangan tinggi selalu identik dengan agama. Hal ini didasari pada rasa simpati masyarakat Aceh tempo dulu dalam memperjuangkan agama, sehingga berhasil mempertahankan tanah kelahirannya dengan semangat prang sabi. Kenyataan ini dalam sejarah terlukis dengan indah, alim ulama masa tersebut secara otomatis menjadi ikon perjuangan merebut kemerdekaan.

Fakta ini kemudian dijadikan pelajaran oleh Belanda dengan mengirim Snouck Hurgronje untuk mengacaukan pertahanan masyarakat Aceh. Pada masa tersebut, daya jual politik Aceh juga merambah luas, tidak sebatas letak geografis Aceh hari ini. Kehidupan ekonomi juga berkembang pesat, apalagi dengan diterapkannya sistem Aceh lhee sagoe yang kemudian menjadikan Aceh sebagai salah satu pelabuhan transit dan pusat perdagangan terbesar di wilayah Samudra Hindia.

Kehidupan dan konflik Aceh tak pernah lekang dengan agama. Rentetan peristiwa kemudian hari banyak diasumsikan dengan dalih agama. Seperti perlawanan Daud Beureueh dengan DI/TII. Pendukung Perjuangan Wali Nanggroe Hasan Tiro pun banyak yang menggunakan logika agama. Agama menjadi salah satu elemen penting masyarakat Aceh dalam menjalankan visi dan misi kehidupan.

Teori ini kemudian yang rasanya dilakukan oleh sebagian pihak tertentu yang tidak ingin suasana tentram di Aceh berlangsung lama, terutama setelah perdamaian di Helsinki tahun 2005. Ulah penyusup ataupun provokator yang berniat kembali mengacaukan tatanan damai dalam bingkai syariat Islam (SI) kembali terjadi. Buktinya, Islam kembali dideskreditkan. Padahal pasca disahkannya Aceh sebagai wilayah khusus pelaksanaan syariat Islam sejak 1999, dan kemudian dikejewantahkan dalam bentuk qanun SI, usaha Islamisasi Aceh berkembang pesat.

Kabar terorisme yang marak dibicarakan di Aceh selama ini dapat dibaca melalui beberapa cara pandang. Kemungkinan kelompok tersebut sebagai penyusup murni tidak bisa dikesampingkan. Apalagi Aceh dikenal sebagai salah satu daerah yang paling giat menerapkan hukum Islam. Jadi diperlukan perubahan paradigma untuk menghambat proses penerapan SI. Pada fase berikutnya, propaganda ini akan membuat orang trauma dengan ajaran Islam, bahkan memandang sinis. Karena provokasi yang dilakukan pihak tak bertanggung jawab tersebut dikaitkan erat dengan kode etik jihad yang menjadi bagian dari Islam. Padahal Jihad dan terorisme adalah dua terma yang berbeda, sangat bertolak belakang.

Kemunculan kelompok ini secara tiba-tiba, tidak adanya makar terorisme yang terjadi di Aceh dan reaksi pihak kepolisian yang berlebihan dengan jatuhnya beberapa korban sipil, menjadi catatan penting. Apalagi sangat kebetulan bila pada 9/03/2010, salah seorang gembong teroris yang paling dicari; Dulmatin, tewas di daerah Pamulang, Tanggerang. Plus kemudian, korban dari pihak teroris yang jatuh di Aceh sebagian besar adalah pihak luar.

Self goverment yang dijanjikan untuk Aceh melalui MoU juga bisa menjadi sebab tak langsung propaganda teroris terjadi. Selain menumbuhkan luka lama untuk mengamputasi kedamaian dan romantisme damai di Aceh. Bukan satu rahasia lagi jika selama ini kebijakan pemda terkesan diintervensi pihak tertentu. Self goverment hanya kosa kata baru dalam kamus pemerintahan Aceh tanpa sisi aplikatif.

Fenomena yang paling kentara dalam kasus terorisme Aceh adalah pencitraan buruk terhadap Islam. Usaha ini kemudian membuat rasa phobia terhadap nilai universal dalam Islam. Sweeping dan pengamatan intelejen yang dilakukan lebih fokus kepada paradigma barat yang membentuk defenisi muslim militan sebagai teroris. Dalam beberapa kasus penyergapan, terlihat jelas ketidak-eleganan kepolisian membasmi jaringan terorisme. Penanganan aksi teroris yang membangkitkan rasa takut juga bertentangan dengan konstitusi umum Indonesia.

Rasa sinis yang dibentuk terhadap umat Islam pun menyeret lembaga pendidikan Islam sebagai sumber permasalahan. Pengekangan berlebihan terhadap aktifitas kegamaan adalah nilai negatif dari upaya pemberantasan terorisme di Aceh. Metode ini juga sebagai cara sistematis menghindari masyarakat dari pengajaran Islam

Jika pun merujuk kepada kasus terorisme di Aceh sebagai sebuah aski non propaganda, Polisi seharusnya tidak bisa terlalu gegabah. Apalagi jaringan mereka tidak begitu mengakar kuat di Aceh dengan sumber pasokan dana yang tidak jelas. Lagi pula, alat perang mereka juga tidak sebanding dengan peralatan milik polisi. Melumpuhkan diplomasi teroris dipandang sebagai cara yang lebih manusiawi dibanding memberangus, apalagi jika didasari unsur intrik politik.

Terorisme harus dilawan dengan jihad. Jihad memerangi terorisme tidak hanya dengan mengangkat senjata. Tetapi membentuk opini publik yang bersahaja dan memberikan pemahaman akan pentingnya cinta kedamaian. Ajaran Islam yang dominan memberikan kemaslahatan kepada manusia, haruslah dicerminkan sebagai tindakan memberantas terorisme, baik perlawanan fisik maupun pemikiran.


DIMUAT di : http://polhukam.kompasiana.com/2010/04/18/jihad-versus-terorisme/