Sunday 14 March 2010

ISLAM & NASIONALINE

Hakekat Demokrasi

Pembukaan:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: [Para ahli fiqih berkata: Nama itu ada 3 macam ; satu macam yang diketahui batasannya dengan syari�at, seperti shalat, dan zakat. Macam yang (lain) yang diketahui batasannya dengan bahasa, seperti matahari dan bulan. Dan macam lain yang diketahui batasannya dengan �urf (adat kebiasaan yang berlaku seperti kata qabdl (serah terima) dan kata ma�ruf (cara yang baik dalam firmanNya: "Dan pergaulilah mereka dengan ma�ruf"] (Majmu Al Fatawa: 13/82). Dan beliau mengulang-ulang ucapannya ini dalam banyak tempat, diantaranya Majmu Al Fatawa: 7/286 dan 19/235. Dan dikarenakan kata �Demokrasi� adalah tidak pernah datang dari dalam syari�at ini dan tidak pula tergolong apa yang diketahui oleh orang-orang Arab dari bahasanya, maka untuk mengetahui makna dan hakikatnya mestilah merujuk kepada �urf para penganutnya yang telah meletakannya, dan dalam hal ini Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam hukum-hukum mufti: ["Ia tidak boleh memfatwakan dalam hal pengakuan, sumpah, wasiat, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan lafadh (kata) dengan apa yang biasa ia pahami dari lafadh-lafadh itu tanpa mengetahui �urf pemilik bahasa itu dan orang-orang yang berbicara dengannya, sehingga ia bisa menempatkannya pada apa yang menjadi kebiasaan mereka dan apa yang mereka ketahui walaupun itu menyelisihi hakikat asal kata tersebut, dan bila ia tidak melakukan hal itu maka ia sesat dan menyesatkan" (I�lamul Muwaqqi�in: 4/228)]

Ini semua tentang penjelasan wajibnya merujuk kepada para peletak istilah DEMOKRASI untuk mengetahui maknanya, agar seseorang tidak mengatakan bahwa ia memaksudkan syura dengannya atau ia memaksudkan dengannya kegiatan politik dan nama-nama lainnya yang lenyap bersamanya hakikat sebenarnya dan secara otomatis status hukumnya.

Hakikat Demokrasi:

Dikarenakan Demokrasi adalah istilah politik yang berasal dari barat, maka sesungguhnya -sesuai pembukaan- yang lalu sepatutnya merujuk kepada para pemiliknya untuk mengetahui maknanya yang dibangun diatasnya pengetahuan akan hukumnya. Sedangkan maksud Demokrasi menurut �urf pemiliknya ; adalah Kedaulatan Rakyat dan bahwa Kedaulatan Rakyat adalah kekuasaan tertinggi lagi mutlak tanpa dikendalikan dengan kekuasaan lain apapun. Dan kekuasaan ini terjelma pada hak rakyat dalam memilih para pemimpinnya dan haknya dalam pembuatan undang-undang apa saja yang ia kehendaki.

Rakyat biasanya menjalankan kekuasaan ini dengan cara mewakilkan, yaitu ia memilih wakil-wakilnya yang mengatasnamakan rakyat di Parlemen, dan mereka mewakili rakyat dalam menjalankan kekuasaan ini. Ada didalam Ensiklopedi Politik: [Semua sistem Demokrasi berdiri diatas prinsip pemikiran yang satu, yaitu bahwa kekuasaan itu kembali kepada rakyat dan bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan, yaitu bahwa Demokrasi itu pada ujungnya adalah prinsip Kedaulatan Rakyat] (Mausuu�ah As Siyasah, karya Dr. Abdul Wahhab Al Kayali, juz 2, hal: 756)

Dan ia berkata dalam definisi Demokrasi Perwakilan: �ia mengandung arti bahwa rakyat -yang mana ia adalah pemilik kedaulatan- tidak melaksanakan kekuasaan pembuatan hukum dengan dirinya sendiri, akan tetapi ia menyerahkannya kepada para wakilnya yang dipilih untuk masa waktu tertentu. Dan rakyat menjadikan mereka itu sebagai wakil-wakilnya dalam menjalankan kekuasaan ini dengan mengatasnamakannya. Jadi Parlemen dalam sistem Demokrasi Perwakilan merupakan jelmaan kedaulatan rakyat, dan dia-lah yang mengungkapkan keinginan rakyat melalui apa yang ia gulirkan berupa hukum-hukum atau undang-undang. Dan sistem ini secara fakta sejarah telah tumbuh di Inggris dan Prancis, kemudian dari keduanya ini ia menjalar ke negara-negara lain� (Referensi yang lalu: 2/757)

Dan dari uraian yang lalu jelaslah bahwa Demokrasi pada intinya adalah kedaulatan rakyat, dan bahwa kedaulatan ini pada dasarnya bermuara pada hak yang mutlak dalam pembuatan hukum yang tidak tunduk terhadap kekuasaan yang lain. Dan inilah sebahagian definisi kedaulatan. Dr. Abdul Hamid Mutawalliy -guru besar UUD- berkata: [Demokrasi dalam berbagai Undang Undang Dasar biasa diungkapkan dengan prinsip �Kedaulatan Rakyat�, sedangkan �kedaulatan� sesuai dengan definisinya adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada yang lebih tinggi darinya (Andhimatul Hukmi Fid Duwal An Namiyyah, Dr. Abdul Hamid Mutawalliy, terbitan 1985 M, hal: 625)

Politikus barat Joejeff Frankl berkata: [Kedaulatan memiliki arti kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi darinya atau dibelakangnya yang memiliki wewenang untuk meninjau ulang putusan-putusannya. Dan makna yang paling mendasar ini tidak pernah mengalami perubahan sepanjang masa-masa modern ini, dan definisi Jane Boudanne terhadap �kedaulatan� ditahun 1578 M yang mana isinya: "Bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dari atas penduduk dan rakyat dan tidak dibatasi undang-undang", adalah tetap walaupun bahwa maksud kedaulatan yang mana Boudane mengkhususkan sang pemimpin pada zamannya dengan kedaulatan itu telah berpindah setelahnya kepada rakyat] (Al �Alaqat Ad Dauliyyah, Joejeff Frankl, Cet. Tuhamah 1984, hal: 25)

Perkembangan Demokrasi Modern

Adapun Demokrasi, maka pondasi-pondasinya telah dikukuhkan oleh Revolusi Prancis tahun 1789, meskipun sistem perwakilan yang bersifat Parlemen telah tumbuh di Inggris satu abad penuh sebelum itu. Dan dari sisi ide pemikiran maka sesungguhnya prinsip Kedaulatan Rakyat itu -yang mana ia adalah dasar paham Demokrasi- telah tertuang sejak beberapa dekade dalam tulisan-tulisan John Lock Montesquieu dan Jean Jacques Rouseau yang telah meletakan dasar teori Kesepakatan Sosial yang mana ia adalah dasar teori Kedaulatan Rakyat. Dan itu adalah sebagai reaksi balik dan sebagai bentuk pemberantasan terhadap teori Tafwidl Ilahiy (pengemban kewenangan dari Tuhan) yang mendominasi Eropa selama 10 abad. Teori itu adalah teori yang menetapkan bahwa para raja itu memerintah dengan pilihan dan pengangkatan dari Allah, sehingga dengan hal itu para raja memiliki kekuasaan yang mutlak lagi mendapat dukungan dalam hal itu dengan dukungan para Paulus. Dan bangsa-bangsa Eropa telah mengalami penderitaan yang amat pedih dari kekuasaan yang mutlak ini, sehingga jadilah kedaulatan rakyat sebagai pengganti dihadapannya untuk keluar dari kekuasaan mutlak para raja dan para Paulus yang memerintah dengan kewenangan dari tuhan -menurut klaim mereka-.

Jadi, Demokrasi pada asal munculnya adalah sikap pembangkangan terhadap kekuasaan Allah, supaya ia memberikan kekuasaan itu sepenuhnya kepada manusia agar manusia itu membuat sistem kehidupan dan undang-undangnya oleh dirinya sendiri tanpa batasan apapun.

Perpindahan dari teori tafwidh ilahiy ke teori kedaulatan rakyat tidaklah berpindah dengan cara yang damai, akan tetapi lewat suatu revolusi yang tergolong paling berdarah terbesar didunia, yaitu Revolusi Prancis tahun 1789 M yang diantara slogannya adalah �Gantunglah raja terakhir dengan usus pendeta terakhir�, dan Dr. Safar Al Hawali berkata: [Revolusi ini telah melahirkan hasil-hasil yang sangat urgen, untuk pertama kalinya dalam sejarah Eropa yang kristen telah terlahir sebuah negara republik yang tidak terikat agama yang mana falsafahnya berdiri diatas hukum dengan atas nama rakyat "dan bukan atas nama Allah",dan diatas prinsip kebebasan beragama sebagai pengganti dari otoriter katholik, dan diatas prinsip kebebasan individu sebagai pengganti dari keterikatan dengan akhlak agama, serta diatas Undang Undang Dasar sebagai pengganti dari keputusan �keputusan gereja (Dr. Safar Al Hawaliy, hal: 169, terbitan Univ. Ummul Qura� 1402 H)

Dan telah nampak teori Kedaulatan Rakyat dan haknya dalam menetapkan undang-undangnya secara jelas dalam prinsip-prinsip Revolusi Prancis dan Undang Undang Dasarnya, dimana pasal ke 6 dari pengumuman hak-hak tahun 1789 menegaskan bahwa: "Undang-undang adalah ungkapan dari keinginan rakyat" , yaitu undang-undang itu bukan ungkapan dari keinginan gereja atau keinginan Allah. Dan pengumuman HAM yang muncul bersama dengan UUD Prancis tahun 1973 pasal ke 25 darinya menegaskan bahwa "Kedaulatan itu berpusat pada rakyat" . (Dinukil dari Mabadi-ul Qanun Ad Dusturiy, karya Dr. Sayyid Shabriy, Hal: 52)

Oleh sebab itu Dr. Abdul Hamid Mutalliy berkata: [Prinsip-prinsip Revolusi Prancis 1789 M dinilai sebagai dasar prinsip-prinsip Demokrasi Barat (Andhimatul Hukmi Fid Duwal An Namiyyah, Karyanya hal: 30)

Hukum Demokrasi Dan Hukum Para Anggota Parlemen Beserta Para Pemilih Mereka

Alasan hukum terhadap Demokrasi adalah keberadaan Kedaulatan didalamnya milik rakyat, dengan makna kedaulatan yang mana ia adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi darinya. Demokrasi, kekuasaannya bersumber dari dirinya sendiri tanpa batasan apapun, sehingga ia melakukan apa yang ia kehendaki dan menggulirkan hukum yang diinginkannya tanpa koreksi seorangpun terhadapnya, padahal ini adalah sifat Allah ta�ala, sebagaimana firmanNya:

"Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendakNya), tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya" (Ar Ra�d: 41)

dan firmanNya ta�ala:

"Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya" (Al Maidah: 1)

dan firmanNya ta�ala:

"Sesungguhnya Allah melakukan apa yang dikehendakiNya" (Al Hajj: 14)

Dan dari ini kita menyimpulkan bahwa Demokrasi itu menyandarkan sifat Uluhiyyah (ketuhanan) terhadap insan dengan bentuk ia memberikan wewenang yang mutlak dalam pembuatan hukum (tasyri) kepadanya, sehingga dengan hal itu Demokrasi menjadikan insan sebagai ilah (tuhan) disamping Allah dan sekutu bagiNya dalam wewenang penetapan hukum bagi manusia, sedangkan ini adalah kufur akbar tanpa keraguan didalamnya. Dan denganungkapan yang lebih jelas, maka sesungguhnya tuhan yang baru dalam Demokrasi adalah hawa nafsu insan dimana ia menetapkan hukum yang ia pandang (cocok) dengan hawa nafsunya tanpa terikat dengan apapun. Allah ta�ala berfirman:

"Terangkan kepadaKu tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami? mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat jalannya (dari binatang ternak)" (Al Furqan: 43-44)

Dan ini menjadikan Demokrasi itu sebagai dien (agama) baru yang berdiri sendiri yang mana Kedaulatan didalamnya ada ditangan rakyat sebagai lawan dari agama Islam yang mana Siyaadah (Kedaulatan/Kakuasaan) didalamnya ada ditangan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagaimana Rasulullah saw bersabda:

"As Sayyid (yang berkuasa) itu hanyalah Allah tabaraka wa ta�ala" (HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab dari As Sunan, sedangkan isnadnya shahih)

Dan dalam menjelaskan sikap pentuhanan manusia dalam sistem Demokrasi ini telah berkata Ustadz Abul A�la Al Maududiy: [Pondasi-pondasi peradaban barat, sesungguhnya peradaban modern yang berdiri dalam payungnya sistem kehidupan masa kini dengan berbagai cabang-cabangnya yang bersifat keyakinan, akhlak, ekonomi, politik, pengetahuan, berpijak diatas tiga landasan, yaitu prinsip-prinsip inti berikut ini: Sekulerisme, Nasionalisme, dan Demokrasi, -sampai ucapannya- Adapun prinsip yang ketiga, yaitu Demokrasi atau pentuhanan manusia dengan digabungkannya kepada dua prinsip yang lalu, maka sempurnalah gambaran yang mengumpulkan dalam bingkainya bencana dan kekacauan-kekacauan didunia ini. Tadi telah saya katakan bahwa makna Demokrasi dalam peradaban yang modern ini adalah hukum (kekuasaan) mayoritas (rakyat), yaitu individu-individu suatu daerah bebas merdeka dalam apa yang berkaitan dengan perealisasian kepentingan-kepentingan sosial mereka, dan bahwa undang-undang daerah ini adalah mengikuti hawa nafsu -sampai ucapannya- Dan bila kita mengamati ketiga prinsip itu sekarang, maka kita dapatkan bahwa Sekulerisme telah memerdekakan manusia dari peribadatan, ketaatan, dan rasa takut kepada Allah dari batasan-batasan moral yang baku, dan melepaskan kebebasan mereka secara penuh serta menjadikan mereka sebagai budak bagi diri mereka sendiri lagi tanpa ada pertanggung jawaban dihadapan siapapun. Kemudian datang nasionalisme untuk menghadirkan bagi mereka tegukan yang banyak dari khamr egoisme, kesombongan, keponggahan, dan penyepelean orang lain. dan terakhir datang demokrasi, dan ia mendudukan insan -setelah kendalinya dilepas dan telah menjadi tawanan hawa nafsu dan korban keponggahan egoisme- diatas singgasana pentuhanan, sehingga dilimpahkan kepadanya seluruh kekuasaan pembuatan hukum dan perundang-undangan dan dikerahkan baginya alat-alat pemerintahan dengan sejumlah fasilitas-fasilitasnya dalam meraih setiap apa yang diinginkannya. -kemudian Al Maududiy berkata- Dan sesungguhnya saya katakan kepada kaum muslimin dengan tegas, bahwa Demokrasi yang Nasionalisme lagi Sekuler adalah menentang agama keyakinan yang kalian anut, dan bila kalian menerimanya maka seolah kalian telah meninggalkan Kitabullah dibelakang punggung kalian, dan apabila kalian ikut andil dalam penegakannya atau keberlangsungannya, maka dengan itu berarti kalian telah mengkhinati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada kalian -sampai ucapannya- Dimana saja sistem (Demokrasi) ini ada, maka sesungguhnya kami tidak menganggap Islam itu ada, dan bila Islam itu ada maka tidak ada tempat bagi sistem ini] (dari kitab Al Islam Wal Madaniyyah Al Haditsah, Al Maududiy, alih bahasa (kedalam bahasa Arab) Khalil Al Hamidiy)

Dan setelah perkataan ini, perlu pembaca ketahui bahwa jama�ah Al Maududiy, yaitu Jama�ah Islamiyyah di Pakistan telah menjadikan Demokrasi sebagai manhaj (metode) dan telah ikut serta dalam pemilihan umum Parlemen di Pakistan -sedang ia adalah negara sekuler- disaat Al Maududiy masih hidup dan setelah ia meninggal dan sampai hari ini, Allah Subhanahu Wa Ta�ala berfirman:

�Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan yang tiada kamu kerjakan� (Ash Shaff: 2-3)

dan firmanNya ta�ala:

�Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab? Maka tidaklah kamu berfikir? (Al Baqarah: 44)

Bila rakyat sang pemilik kedaulatan -dalam Demokrasi- melaksanakan kedaulatannya lewat perantaraan para wakilnya di Parlemen, maka kedua belah pihak ini terjatuh dalam kekafiran, yaitu para wakil rakyat di Parlemen dan rakyat yang memilih mereka untuk jabatan ini. (yaitu jika rakyat atau anggota parlemen menganggap diri mereka memiliki hak untuk menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah, atau menganggap hukum buatan manusia lebih baik dari hukum Allah, karena hal ini sama saja menghalalkan yang haram, dan hukumnya kafir murtad)

Adapun para anggota Parlemen, maka sebab kekafiran mereka adalah bahwa mereka itu para pemilik kedaulatan yang langsung, dimana mereka itulah orang-orang yang membuat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah bagi manusia secara sengaja dan tanpa paksaan, baik dengan membuat undang-undang atau dengan mengesahkannya dan menyetujuinya (anggota parlemen menjadi kafir murtad jika menganggap halal perbuatannya itu, jika dalam hatinya tidak menganggap halal maka tidak dianggap murtad, wallahualam). Dan semua Undang undang Dasar sekuler modern yang menegaskan bahwa: �Parlemen memegang kekuasaan membentuk undang-undang� . Baik Parlemen itu bernama Majelis Rakyat atau Dewan Nasional atau Konggres atau Dewan Legislatif atau nama-nama lainnya. Dan ini menjadikan para wakil rakyat itu sekutu-sekutu bersama Allah dalam RububiyyahNya berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta�ala:

�Apakan mereka mempunyai sekutu-sekutu (sembahan-sembahan selain Allah) yang mensyari�atkan untuk mereka dien yang tidak diizinkan Allah?� (Asy Syura: 21)

Sedangkan dien -dalam salah satu maknanya- adalah sistem (aturan) hidup manusia baik haq maupun bathil berdasarkan firmanNya Subhanahu Wa Ta�ala:

�Bagi kalian dien kalian dan bagiku dienku� (Al Kafirun: 6)

Allah Subhanahu Wa Ta�ala menamakan kekafiran yang dianut oleh orang-orang kafir sebagai dien, oleh sebab itu barangsiapa membuatkan hukum bagi manusia yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia itu telah menjadikan dirinya sebagai ilah (tuhan) bagi mereka dan sekutu bersama Allah. Ini adalah dalil.

Dan dalil lain terhadap kekafiran para wakil rakyat itu adalah bahwa mereka dengan sebab pembuatan hukum mereka bagi manusia selain dengan hukum Allah adalah mereka telah mengangkat diri merka sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi manusia selain Allah, sedangkan ini adalah kekafiran dengan sendirinya, sebagaimana firmanNya ta�ala:

�Katakanlah, �Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebahagian kita menjadikan sebahagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah� (Ali Imran: 64)

Sedangkan pentuhanan (Rububiyyah) yang diutarakan dalam ayat itu adalah dengan cara pembuatan hukum selain Allah, sebagaimana ia dalam firmanNya:

�Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah� (At Taubah: 31)

Dan dari Adiy Ibnu Hatim radliallaahuanhu, -ia asalnya Nashrani terus masuk Islam- ia berkata: [Saya mendatangi Rasulullah, sedang beliau membaca surat Bara�ah, sampai firmanNya "mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah". Saya berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak menjadikan mereka sebagai tuhan". Beliau bersabda, "Bukankah mereka menghalalkan bagi kamu apa yang diharamkan Allah kemudian kamu menghalalkannya, dan mereka mengharamkan atas kalian apa yang dihalalkan bagi kalian kemudian kalian mengharamkannya?". Maka saya berkata, "Ya". Beliau bersabda, " Maka itulah peribadatan kepada mereka" (HR. Ahmad dan Tirmidzi, ia berkata: Hadits Hasan)]

Al Alusy berkata: [Mayoritas para ahli tafsir berkata: "Maksud dari arbab (tuhan-tuhan) bukanlah bahwa mereka meyakini bahwa mereka itu tuhan-tuhan dialam ini, namun yang dimaksud adalah bahwa mereka itu mentaatinya dalam perintah-perintah dan larangan-larangannya] selesai.

Dan ini semuanya menjelaskan bahwa orang yang membuat hukum bagi manusia selain Allah, seperti para ulama Yahudi dan para Pendeta Nashrani serta para anggota Parlemen maka dia itu telah menjadikan dirinya sebagai tuhan bagi mereka, dan cukuplah itu sebagai kekafiran yang nyata baginya. Barangsiapa dari para wakil rakyat itu ridha dengan tugas-tugas Parlemen syirik ini ATAU dia ikut serta didalamnya maka ini kekafiran yang sangat nyata tidak ada keraguan didalamnya. Adapun orang yang mengklaim dari kalangan wakil rakyat itu bahwa dia tidak ridha terhadap hal tersebut dan bahwa ia tidak masuk kecuali untuk dakwah dan perbaikan dan memperjuangkan terlaksananya hukum Allah maka semoga dia tidak jatuh dalam kekafiran.

Adapun sebab kekafirannya maka ia adalah bahwa masuknya dia kedalam Parlemen-parlemen ini adalah pengakuan darinya terhadap keabsahan tugas Parlemen ini -yaitu tahakum (mengacu hukum) kepada pikiran manusia- serta kekomitmenan darinya terhadap prinsip-prinsip Parlemen (Demokrasi) dan prinsip Undang Undang Dasar yang mana Parlemen itu berdiri sesuai ketentuannya. Allah Subhanahu Wa Ta�ala berfirman:

�Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah� (Asy Syura: 10)

Sedangkan Demokrasi menegaskan bahwa: Apa yang kami berselisih didalamnya maka putusannya (terserah) kepada para wakil rakyat di Parlemen atau kepada publik dalam istifta (jejak pendapat). Dan seluruh anggota Majelis Rakyat (Parlemen) komitmen dengan prinsip kafir ini, dan andai mereka menampakan sedikit saja penentangan terhadapnya tentulah dipecat langsung dari majelis (Parlemen) itu sesuai tata tertib yang berlaku. Dan siapa menampakan kekafiran dihadapan kami maka kami menampakan pengkafiran terhadapnya.

Syaikh Ibnu Baz sendiri berkata dalam penjelasan pembatal keempat dari sepuluh pembatal keIslaman yang dikumpulkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, Ibnu Baz berkata:["Dan masuk dalam hal itu juga setiap orang yang meyakini bahwa boleh memutuskan dengan selain Syari�at Islam dalam mu�amalat hudud atau yang lainnya meskipun dia tidak meyakini bahwa hal itu lebih utama dari hukum syari�at, karena dengan hal itu berarti menghalalkan apa yang telah Allah haramkan secara ijma. Sedangkan setiap orang yang menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dari suatu yang sudah diketahui secara pasti dari dien ini seperti: zina, khamr, riba, dan pemutusan dengan selain syari�at Allah maka dia itu kafir dengan ijma kaum muslimin" (majalah Al Buhuts Al Islamiyyah, yang muncul dari sekretariat pusat Al Buhuts Wa Ad Dakwah Wal Ifta di Saudi, Vol. 7, hal: 17-18)].

Adapun orang-orang yang memilih mereka dari kalangan individu-individu masyarakat maka kafir juga (jika hatinya menghalalkan sekulerisme dan membenci hukum Allah), karena sesuai ketentuan Demokrasi Perwakilan sesungguhnya para pemilih itu pada hakikatnya adalah mengangkat para wakil mereka dalam melaksanakan kedaulatan syiriknya -pembuatan hukum selain Allah- sebagai wakil dari mereka. Jadi, para pemilih itu memberikan kepada para wakil rakyat itu kewenangan melaksanakan syirik dan mengangkat mereka -dengan pencoblosan mereka itu- sebagai arbab musyarri�in (tuhan-tuhan pembuat hukum) selain Allah.

Allah ta�ala berfirman:

�Dan (tidak wajar pula bagiNya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran diwaktu kamu sudah (menganut agama) Islam? (Ali Imran: 80)

Bila saja orang yang menjadikan Malaikat dan para nabi sebagai arbab adalah kafir, maka bagaimana dengan orang yang menjadikan para anggota Parlemen itu sebagai arbab?

Juga firmanNya Subhanahu Wa Ta�ala:

�Katakanlah, �Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebahagian kita menjadikan sebahagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah� (Ali Imran: 64)

Menjadikan manusia sebagai arbab (tuhan) selain Allah adalah syirik dan kufur terhadap Allah, dan inilah yang dilakukan oleh para pemilih anggota Parlemen yang membenci hukum islam.

Ustadz Sayyid Quthub rahimahullah berkata -dalam ucapannya tentang ayat itu-:

�Sesungguhnya manusia dalam seluruh sistem-sistem bumi sebahagian mereka menjadikan sebahagian yang lain sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah�.. Ini terjadi pada Demokrasi yang paling tinggi sebagaimana ia terjadi pada diktatorisme yang paling rendah, sama saja. Sesungguhnya kekhususan Rububiyyah yang paling pertama adalah hak menjadikan manusia sebagai hamba, hak membuat sistem, jalan hidup (falsafah), hukum-hukum, undang-undang, norma-norma dan timbangan-timbangan. Dan hak ini dalam seluruh sistem buatan bumi adalah diklaim oleh sebahagian manusia -dalam satu gambaran dari gambaran-gambarannya- dan urusan didalamnya kembali kepada sekelompok manusia apapun bentuknya, dan sekelompok manusia yang menundukan manusia lain terhadap aturan-aturannya, nilai-nilainya, timbangan-timbangannya dan ide-idenya. Ini adalah tuhan-tuhan dibumi yang dijadikan oleh sebahagian manusia sebagai arbab selain Allah, dan mereka memperkenankan sekelompok manusia ini untuk mengaku Uluhiyyah dan Rubbubiyyah, sehingga dengan hal itu mereka mengibadatinya selain Allah walaupun mereka tidak sujud dan ruku terhadapnya. Maka penghambaan diri ini adalah ibadah yang tidak boleh ditunjukan kecuali kepada Allah -sampai ucapannya-: -dan Islam dengan makna ini- adalah dien disisi Allah, dan ia adalah yang dibawa setiap Rasul dari sisi Allah. Sungguh Allah telah mengutus para Rasul dengan dien ini untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap manusia kepada penghambaan terhadap Allah, serta dari kezaliman manusia kepada keadilan Allah�. Barangsiapa berpaling darinya maka dia bukan muslim dengan kesaksian Allah, apapun upaya pentakwilan yang dilakukan oleh para pentakwil dan penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyesatkan� �Sesungguhnya dien yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam� selesai (Fidzilalil Qur�an, Sayyid Quthub: 1/704-704)

Demokrasi dan Majelis Parlemen �wahai saudaraku- adalah agama orang-orang kafir dan hawa nafsu mereka, sedangkan ridha dengannya adalah masuk dalam agama mereka, mengikuti Millah mereka dan keluar dari Millah Islam. Allah Azza Wa Jalla berfirman:

Atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya� (Al Kahfi: 20)

Dan firmanNya:

�Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang zalim� (Al Baqarah: 145)

Syaikh Ibnu Baz sendiri berkata:

�Zalim bila disebutkan begitu saja, maka dimaksudkan dengannya syirik akbar, sebagaimana firmanNya: �Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim� (Al Baqarah: 254)� (dari Majmu Fatawa Ibnu Baz: 2/110-111 dan yang serupa: 1/179)

Allah t�ala berfirman:

�Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka� (An Nisa: 120)

Dan hendaklah kalian wahai saudara-saudaraku mengetahui bahwa Demokrasi adalah agama Amerika yang menganggap dirinya sebagai pelindung Demokrasi didunia, sedangkan Konggres (Parlemen) Amerika telah menetapkan aturan yang mensyaratkan penerapan Demokrasi dinegara-negara yang diberikan bantuan Amerika. Itu dikarenakan sesungguhnya sistem Demokrasi adalah diantara sistem yang paling mudah yang memberikan peluang bagi Amerika untuk campur tangan dalam urusan-urusan negara-negara itu dengan cara yang bersifat undang-undang, dan itu dengan cara mengendalikan anggota-anggota Parlemen yang membuat hukum dan penggolan anggota-anggota tertentu terlaksana dengan mengiming-iming orang-orang umum yang bodoh dengan harta. Dan sungguh Amerika telah ikut campur dalam banyak pemilihan Dewan Legislatif, diantaranya sebagai contoh campur tangannya di Pemilu Italia tahun 1947, dan didalamnya presiden Amerika Truman telah menggulirkan prinsipnya yang terkenal yang membolehkan bagi intelejen Amerika untuk menyerahkan dana lebih dari USD 70 jt dalam rangka memenangkan Partai Demokrat Kristen dan menjatuhkan Partai Komunis Italia. Amerika mengumumkan hal ini dengan merasa bangga dengannya. Kembali tahun 1976 Amerika campur tangan dalam pemilu Italia, dan didalamnya Menlu AS Henry Kissenger menggulirkan prinsipnya untuk campur tangan pada pemilu Italia. (Dari kitab At Tarikh As Siyasiy Al Hadits, Dr. Fayiz Shalih Abu Jabir, terbitan Darul Basyir 1989, Hl: 414 dan 406)

Ini adalah agama Amerika dan agama kaum Yahudi dan Nashrani, dan ia adalah apa yang telah Rasulullah Shalallahu �alaihi wa sallam hati-hatikan kita terjatuh didalamnya dengan ucapannya: �Sesungguhnya kalian akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga andai mereka memasuki lobang dlab (hewan berbahaya) tentu kalian akan mengikuti mereka pula�, mereka bertanya, �Wahai Rasulullah, apakah mereka yahudi dan Nashrani?�, beliau bersabda, �Maka siapa lagi?� (Muttafaq �alaih)

Orang-orang kafir dengan berbagai macam ragamnya menganut Demokrasi selagi ia merealisasikan keinginan-keinginan mereka, kemudian bila berbenturan dengan kepentingan-kepentingan mereka, maka mereka orang yang paling pertama kali menghancurkannya. Perumpamaan mereka dalam hal itu seperti orang kafir yang membuat patung dari korma untuk ia sembah, kemudian tatkala dia lapar maka ia memakan tuhannya yang sebelumnya ia sembah. Dan contoh-contoh atas hal itu sangat banyak dari kawasan timur dan barat.

dikutip dari tulisan Abu Muhammad Ashim Al Maqdisy dengan perubahan

ISLAMIC MEDIA
ISLAMIC.XTGEM.COM
Created : Ibnuisa
INDEX UTAMA

Create wapsite
Free wapsite

No comments:

Post a Comment